My Daddy, My Hero

Lama tak bersua dengan blog ini. Tak terasa hari ini telah memasuki penghujung bulan Januari. Sudah lama blog ini berdebu, ditinggal oleh Sang Tuan. Butuh waktu lama untuk Sang Tuan bisa kembali.

Banyak cerita belum dituangkan Sang Tuan dalam tulisan. Sang Tuan terlalu pendiam, sangat ingin ditumpahkannya alur hidup kemarin yang terlewatkan dan pengharapan serta mimpinya kelak di masa depan.

Anddd, here we go...!

Halo haloo.

Akhirnya, saya kembali lagi! Di rumah maya ini, haha. Lama binggo ndak menyapa tulisan-tulisan aku, debu udah numpuk. Sekarang waktunya bersih-bersih yak. Sambil beberes, sekalian mau cerita, berbagi kisah sama kalian yang baca posting ini (read: pengunjung setia, halah).

Tanpa sadar, ternyata udah buanyak banget pelajaran yang dikasih Tuhan buat kita untuk belajar soal hidup, gimana kita bisa survive, gimana kita benar-benar harus bisa menggunakan hati dan otak untuk menghadapi segala kemungkinan dalam situasi apapun. Tuhan bisa sangat mudah membuat up and down hidup dan suasana hati kita, dalam waktu lama atau singkat, jauh atau dekat.

Momen terakhir, tepat tujuh hari setelah saya berulang tahun, Ayah dipanggil Tuhan. Ayah pergi meninggalkan kami berempat, 25 September 2014. Dengan sangat tidak disangka, tanpa pernah ia mengeluhkan sakit. Ayah ditemukan pingsan di kamar mandi, dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dalam keadaan tidak sadar selama dua hari di ICU RS Panti Waluyo sampai beliau meninggal.

Pagi itu, 23 September 2014 pukul 09.30 dalam ruang ICU, Ibu berdiri di belakang saya dan saya duduk tepat di depan dokter, dipisahkan meja. Saat itu antara percaya dan tidak, dokter mengatakan kondisi Ayah sudah buruk, dapat dikatakan sangat kritis, dokter bilang jika Ayah bisa sadar/sembuh itu mukjizat, dokter dan tim pun juga berusaha yang terbaik. Dan saat itu juga dengan mata berkaca-kaca, di depan suster sambil menandatangai berkas, air mata pun tak terbendung. Dokter juga menunjukkan hasil rontgen, penyebab Ayah pingsan karena ada pembuluh darah di kepala pecah, dan sudah menyebar setengah kepala. Hati ini amat sakit melihat dan mendengar fakta yang dikatakan dokter.

Ruangan yang hanya bisa dikunjungi 2x dalam sehari, dan hanya 1 jam, setiap masuk mengunjungi Ayah, saya selalu memegang tangannya, mengusap kepalanya, berharap ia akan membuka mata. Bunyi alat rekam jantung dan pernafasan selalu terngiang di telinga. Sesekali Ayah menggerakkan tangan dan kakinya, namun saat saya menanyakan ke suster gerakan tersebut hanya refleks (tidak sadar). Malam itu saat Ibu tertidur, saya tidak bisa tidur, saya berjalan di lorong rumah sakit menuju mushola untuk menenangkan diri. Hari kedua saat saya kembali memegang tangannya sambil membaca sebuah surat dalam Al Quran, air mata kembali tak terbendung, sambil duduk dengan menidurkan kepala saya di dekat tangan Ayah. Saat itu saya pasrahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Saya pun sudah tidak tega melihat selang pernafasan yang terpasang di mulut Ayah. Dan paginya pukul 05.00 saya pulang mengantar adik siap-siap ke sekolah. Ternyata saat saya pulang Ibu dan kakak saya dipanggil oleh dokter, dengan tujuan untuk memberi doa terakhir, saat itu peralatan medis masih terpasang lengkap. Kemudian setelah usaha terakhir menggunakan alat pacu jantung, tak berhasil, dann... selamat jalan Ayah.

Ayah, aku kangen Ayah.
Kangenn sekali.

Ayah, aku Rindu Ayah.
Rinduu sekali.
Aku sangat ingin dipeluk Ayah.

Belum sempat kita berbincang lebih lama, belum sempat aku menanyakan tentang pria yang ingin kau sandingkan dengan kakak dan aku. Tentang seorang pria yang akan menjaga kami nanti.
Ayahh, pada siapa aku harus bertanya saat ini?
Ayahh, aku rindu Ayah, aku sayang Ayah.

Belum sempat kuhadiahkan gelar Sarjana untukmu, maaf ya Ayah.

------------------------------

Kita tidak dapat memilih dari rahim siapa kita dilahirkan, dalam keluarga seperti apa kita tumbuh, dalam kondisi seperti apa saat berkembang. Kita pun tidak pernah tahu saat posisi kita berada di atas lalu tiba-tiba berada di bawah, who knows?

Di keluarga ini benar terjadi, ini bukan cerita sinetron, namun sepenggal kisah nyata. Banyak peristiwa tak terduga yang masih tersirat. Apakah kamu pernah membayangkan jika Ayahmu terancam masuk penjara karena dugaan korupsi? Apakah kamu pernah membayangkan segala harta Ayah dan Ibumu harus digadaikan bahkan dijual? Apakah kamu pernah membayangkan ketika rumah yang kamu tinggali sudah bukan jadi milikmu? Apakah kamu pernah membayangkan tiba-tiba kamu tidak memiliki tempat singgah? Apakah kamu pernah membayangkan hidup dalam keluarga yang terlilit hutang? Apakah pernah terlintas?

Ayah, aku tahu maksud Ayah demi kebaikan, aku tahu Ayah sangat menyayangi anak-anak Ayah. Segala peristiwa kelam anggaplah angin lalu, dan ini bukan kesengajaan. Ayah, bagaimanapun dirimu, seperti apapun, aku sayang Ayah.


Ayah yang tenang di sana ya. Cium jauh dari sini. :))

1 komentar:

santideje. Diberdayakan oleh Blogger.

Majalah Terasolo Edisi 6 | Maret 2014

 

Happy Time :D


Get your own Digital Clock

Category

about.me

Followers